Senin, 25 April 2016

BEDA METERAI ROH, BAPTIS ROH DAN PENUH ROH?

Dikutip dari Tulisan Pdt. Daniel Heruyono.

Ada dua pemahaman terhadap tiga langkah yang Roh Kudus kerjakan kepada setiap orang percaya, dan masing-masing yang meyakini pemahaman tersebut berhadapan untuk saling “menyerang”. Pemahaman pertama menggabungkan pemeteraian dengan baptisan Roh Kudus, sehingga berkeyakinan tidak diperlukan lagi baptisan Roh Kudus terhadap orang yang sudah lahir baru. Pemahaman kedua menganggap baptisan Roh Kudus merupakan peristiwa yang sama dengan kepenuhan (baca: dipimpin) Roh Kudus, yang menghasilkan kekristenan hanya terfokus pada baptisan Roh Kudus yang ditandai bahasa roh, tanpa disertai buah Roh. Padahal fakta historis dalam gereja para Rasul, dicatat tentang hadirnya Roh Kudus tidak langsung mengerjakan secara serentak pemeteraian, pembaptisan dan kepenuhan Roh Kudus pada seseorang. 

Pemahaman tersebut akan menjadi lebih sederhana, jika pembaptisan dan dipenuhi Roh Kudus dipandang sebagai suatu simbol dari proses penyatuan kedalam tubuh Kristus pada saat orang dilahirkan baru. Dalam hal ini Penulis membedakan “kepenuhan Roh Kudus” seperti yang akan diuraikan berikut ini dengan “penuh dengan Roh Kudus” dalam Kisah Para Rasul 2:4 dan 9:17. Penuh dengan Roh Kudus dalam dua ayat tersebut, berhubungan dengan baptisan Roh Kudus yang diterima tanpa ada upaya apapun, sedangkan kepenuhan Roh Kudus adalah totalitas seseorang dalam kesediannya dipimpin oleh Roh Kudus. Berikut ini tiga langkah yang dimaksud, yaitu dimeteraikan Roh Kudus, baptisan Roh Kudus, dan Roh Kudus.

1. Meterai Roh Kudus
Para Rasul tidak pernah menyangsikan keselamatan yang diterima seseorang, saat ia percaya pada Yesus Kristus. Pengakuan atas keberdosaan dan menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi, menjadikan seseorang dilahirkan kembali. Iman kepada pengorbanan Yesus Kristus, menjamin seseorang dihisapkan menjadi bagian dalam persekutuan orang percaya. Penebusan dosa didalam Yesus Kristus yang terjadi pada seseorang, pada dasarnya sekaligus merupakan perubahan status, dari anak kegelapan menjadi anak terang yaitu sebagai anak Allah. Perubahan status ini disebut adopsi, yang didalam dunia hukum merupakan pengesahan untuk memenuhi asas legalitas. Pengesahan menjadi anak Allah didalam Yesus Kristus ditandai dengan meterai Roh Kudus, seperti yang disebutkan dalam Efesus 1:13. Bahkan dalam Efesus 1:13 dinyatakan, bahwa kita telah dimeteraikan dengan Roh Kudus yang dijanjikan itu, yang adalah jaminan bagian kita. 

Selanjutnya disebutkan, Roh Kudus dikaruniakan guna memberi kepastian akan bagian kita, sampai memperoleh seluruhnya. Dengan menerima baptisan, orang beriman benar-benar dimeteraikan oleh Tuhan Allah. Sebab sakramen dimaksudkan untuk menguatkan iman kepada keselamatan, jangan sampai goyah (Harun Hadiwiyono, 1984). Manfaat meterai Roh Kudus adalah suatu bukti bagi orang yang sudah ditebus oleh Yesus Kristus, dan hal itu sebagai tanda kepemilikkan, yang mana tidak dapat digugat lagi statusnya oleh Iblis yang sebelumnya menguasai.

Di dalam Efesus 1:13 kata “dimeteraikan” menggunakan bahasa Yunani “espragisthete” dengan parsing 2p. pl. 1 aor. pass. ind., dari akar kata “spragizo” yang artinya pada saat seseorang percaya kepada Yesus Kristus yang telah mati di salib, serentak pada waktu itu sungguh-sungguh ia telah dimeteraikan oleh Roh Kudus menjadi milik Allah sekali untuk seterusnya. Sewaktu seseorang percaya, ia “dimeteraikan” dengan Roh (Efesus 1:13; 4:30); artinya, kehadiran Roh dalam diri orang-orang yang percaya merupakan cap yang menandakan milik Allah (seperti cap yang dipakai oleh orang-orang pada abad pertama di atas milik pribadi mereka) (Leon Morris, 1996). Pemeteraian berhubungan dengan hak waris yang dijanjikan, dan hak-hak lainnya sebagai anak Allah yang telah disediakan. Oleh karena itu “espragisthete” diterjemahkan “mark with a seal” (ditandai dengan segel), atau “marked with the seal”. Sebagai pembanding, penggunaan meterai terdapat juga dalam Roma 4:11 yang dihubungkan dengan “sunat”. Sunat bagi orang Yahudi diyakini sebagai “tanda” (baca: meterai) perjanjian antara Allah dengan Abraham. Setiap orang yang dihisapkan sebagai keturunan Abraham, dan yang bersedia menerima perjanjian tersebut harus ditandai dengan sunat (Kejadian 17).

Pemeteraian yang diterima seseorang berhubungan dengan statusnya sebagai anak Allah, sekaligus juga menyatukan setiap orang percaya menjadi keluarga Allah. Dalam hal ini, bisa dimengerti jika 2 Timotius 2:19 mempergunaan istilah meterai, yang dihubungkan dengan kalimat “Tuhan mengenal siapa milik-Nya”. Pemeteraian secara langsung menempatkan orang percaya pada penyatuan tubuh Kristus di dalam gereja yang Am (Universal), dimana Yesus Kristus sebagai Kepala Gereja. Perlu mencermati istilah yang dipakai Rasul Paulus, dalam suratnya kepada jemaat di Efesus, tentang pemeteraian dan istilah lain yang berhubungan dengan Roh Kudus, yaitu :
- Efesus 1:13, meterai Roh (spragizo)
- Efesus 2:22; 3:5, di dalam Roh (en Pneumati)
- Efesus 4:3, kesatuan Roh (ten enoteta tou Pneumato)
- Efesus 4:4, satu Roh (en Pneuma)
- Efesus 4:30, mendukakan Roh (lupeite to Pneuma )
- Efesus 5:18, penuh dengan Roh (plerouste en Pneumati)
Istilah-istilah yang dipergunakan Rasul Paulus dalam suratan tersebut di atas, tidak mencantumkan tentang baptisan Roh Kudus, padahal beberapa murid di Efesus memiliki pengalaman tentang dibaptis Roh Kudus (Kisah Para Rasul 19:1-7). Dengan begitu bisa dipahami bahwa pemeteraian Roh Kudus, baptisan Roh Kudus, dan kepenuhan Roh Kudus merupakan tiga kasus berbeda, namun dikerjakan oleh Roh Kudus yang sama. 

Pemeteraian Roh Kudus secara otomatis diterima oleh setiap orang percaya, saat menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Dimeteraikan oleh Roh, yang menjadikan orang percaya terikat dalam satu Roh (dimeteraikan sama), dengan begitu mendapatkan hak-haknya serta tanggung jawab sebagai Gereja Tuhan (2 Petrus 2:9). Pemeteraian dilakukan oleh Roh Kudus, ditandai dengan kehadiran Roh Kudus dalam orang tersebut, yang diterima dengan iman. Kehadiran Roh Kudus untuk meyakinkan orang percaya, tentang statusnya sebagai ahli waris, dan menolongnya untuk melakukan tanggung jawab panggilan iman Kristen.

Bila memahami ayat 13 dari Efesus 1 sebagai suatu kesimpulan, bahwa ketika seseorang percaya kepada Yesus Kristus, akan secara otomatis menerima Roh Kudus dalam artian baptisan Roh Kudus, hal itu akan bertentangan dengan fakta dalam Kisah Para Rasul 8:14-17 dan 19:2. Pada saat Lukas menulis peristiwa tersebut, dapat dipastikan ia tidak bermaksud memunculkan suatu kontroversi. Melainkan bertujuan menyampaikan data obyektif, bahwa mempercayai Yesus bukan berarti secara otomatis menerima baptisan Roh Kudus. Memperhatikan Kisah Para Rasul 8:16 dan 19:1-6, dimana karunia Roh diberikan menyusul setelah kelahiran baru, dan nampaknya dapat dilihat dan didengar. Tapi tidak ada landasan untuk menyimpulkan bahwa kuasa karunia Roh dapat dialami tanpa Kristus. Roh Kudus datang kepada orang yang percaya merupakan janji yang dibuat bagi dan oleh Kristus (bnd acuan PL yang mengacu pada Kisah Para Rasul 2:39 yakni Yesaya 54:13; 57:19; Yoel 2:28-32), dan menantikan penggenapannya – bahwa Roh Kudus datang. (J. D. Douglas, t.t.).

Dalam surat yang lain, Rasul Paulus membicarakan teologia “terikat satu Roh”, dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan jemaat Korintus yang terancam perpecahan (1 Korintus 3:1-9). Perlu dicermati perpecahan dapat terjadi bukan saja disebabkan adanya kelompok yang berafiliasi kepada tokoh tertentu, tetapi juga dikarenakan munculnya karunia-karunia Roh Kudus di antara jemaat. Mereka tampaknya telah menampilkan sejumlah pengaruh, karena orang-orang Kristen di Korintus ternyata telah diombang-ambingkan dan dikelompok-kelompokan, meskipun hanya dalam pandangan dan praktek hidupnya. (Willi Marxsen, 1996). Melalui 1 Korintus 12 dapat diketahui tentang Rasul Paulus yang menekankan kesatuan Roh, yang mengikat (memeteraikan), dan tidaklah layak apabila masing-masing anggota jemaat saling berbenturan. Dalam konteks inilah 1 Korintus 12 harus ditempatkan, karena ayat 13 dalam pasal ini tidak membicarakan baptisan Roh Kudus. Meskipun ayat tersebut mempergunakan kata baptis, tetapi pada dasarnya maksud Paulus, hendak mengemukakan bahwa tidak diperbolehkan satu orang, maupun kelompok saling menonjolkan diri lebih dari yang lain, karena sudah “tenggelam” (ebaptisthemen) menjadi satu tubuh. 

Dalam ayat tersebut secara literal sudah jelas, Paulus tidak menyatakan “…, telah dibaptis Roh Kudus” melainkan “…, telah dibaptis menjadi satu tubuh…” yang hendak menekankan pada kesatuannya, dan bukan mengenai baptisan Roh Kudus. Tidak akan didapatkan satu ayat pun, tentang baptisan Roh Kudus yang dihubungkan dengan kesatuan tubuh Kristus. Sangat beralasan jika Rasul Paulus mempergunakan “kita semua”, untuk mencairkan pemahaman jemaat tentang kesatuan, karena masing-masing menonjolkan karunia dan kelompoknya sendiri. Penegasan “diberi minum dari satu Roh”, mengingatkan, bahwa semua karunia yang dapat dinikmati, berasal dari satu sumber yang sama yaitu Roh Kudus, dan bukan berasal dari diri mereka sendiri. 

Menjadi satu tubuh dengan Kristus tidak didasarkan pada baptisan Roh Kudus, melainkan pemeteraian atas dasar kepercayaan kepada Yesus Kristus. Apabila kita konsisten dengan doktrin bahwa gereja adalah tubuh Kristus (Matius 16:16-20), dan orang yang hendak masuk didalamnya hanya dengan mengakui bahwa “Yesus Kristus adalah Mesias, Anak Allah yang hidup”, ia telah menjadi anggota tubuh Kristus, maka sebenarnya tidak perlu menyangsikan keabsahan imannya. Petrus tidak meragukan kepercayaan orang-orang Samaria, sehingga tidak perlu melayani pertobatan mereka kepada Yesus Kristus. Demikian halnya Paulus, tidak mempertanyakan kepercayaan kedua belas orang di Efesus, yang sudah disebut sebagai murid. Kedua Rasul di atas sudah meyakini berdasarkan iman mereka pemeteraian Roh Kudus telah terjadi, tetapi baptisan Roh Kudus perlu dipertanyakan, oleh sebab belum tentu mereka menerimanya. Mustahil seseorang dimeteraikan Roh Kudus, dan mendapatkan hak selaku ahli waris Kerajaan Allah, tetapi tidak secara otomatis dimasukkan sebagai anggota tubuh Kristus. 

Pemeteraian oleh Roh Kudus merupakan tanda, pengesahan secara hukum dimana manusia yang sebelumnya dibawah kekuasaan Iblis, telah dibeli secara tunai melalui pengorbanan Kristus untuk menjadi milik Allah. Dengan begitu arti dari dimeteraikan oleh Roh Kudus adalah pada saat seseorang mempercayai dan menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan, serentak dengan itu Roh Kudus hadir sebagai meterai, yang mengesahkannya menjadi anak Allah, yang dipersekutukan dalam keluarga Allah (Efesus. 1:13; Yohanes. 1:12; Roma 8:1,2,9,14-17). Dan karena itu, ia memiliki hak dan tanggung jawab untuk terikat bersama orang percaya lainnya didalam kesatuan tubuh Kristus.

2. Baptisan Roh Kudus
Kisah Para Rasul mencatat pentingnya peranan Roh Kudus dalam pertumbuhan dan perkembangan gereja purba, ditengah-tengah berbagai macam hambatan dan tantangan. Begitu pentingnya peranan Roh Kudus, sampai ada yang menamakan kitab Kisah Para Rasul dengan “Kisah Perbuatan Roh Kudus (Sidlow Boxter, 1995). Perihal Roh Kudus ditempatkan dalam bagian awal dari kitab Kisah Para Rasul, menunjukkan betapa strategis dan penting Roh Kudus dalam menunjang pekabaran Injil. Terbukti perkembangan gereja dari jaman para Rasul sampai dewasa ini, dikerjakan oleh Roh Kudus yang dimulai dari baptisan Roh Kudus saat Pentakosta. Jika di seluruh Alkitab dikatakan istilah baptisan Roh Kudus hanya muncul tujuh kali, lalu disimpulkan baptisan Roh Kudus tidak penting (Stephen Tong, 1996), kalau begitu ada berapa banyak istilah “diaken” dalam Alkitab sehingga seluruh gereja perlu memakainya? Bukankah tentang adanya diaken tidak dianjurkan atau diperintahkan di setiap surat dalam Perjanjian Baru? Karena begitu pentingnya peranan diaken dalam gereja membuat para pendeta tidak sembarangan memilih diaken (Stephen Tong, 1996). Melalui ukuran yang demikian, apakah dapat dikatakan Allah menjadi tidak penting, karena tidak disebutkan satu kalipun dalam kitab Ester? 

Petrus tidak ragu-ragu mengutip nubuatan Yoel, untuk dijadikan dasar peristiwa Pentakosta yang ia alami, meskipun nubuatan tentang Roh Kudus dalam Perjanjian Lama tidak banyak dibicarakan oleh para nabi. Istilah baptisan Roh Kudus di dalam Alkitab dapat saja berjumlah sedikit, tetapi penempatannya sangat penting, dan dampak yang dihasilkannya sangat luar biasa. Tuhan Yesus sewaktu berpisah dengan murid-murid-Nya, sesaat akan naik ke sorga, hal penting yang dibicarakan ialah tentang baptisan Roh Kudus, meskipun ada banyak topik yang dapat dijadikan bahan pembicaraan. Timbul pertanyaan, apakah pengalaman orang-orang yang berbahasa roh dalam Kisah Para Rasul, atau di Korintus didasarkan pada doktrin yang alkitabiah, atau mereka menerima begitu saja kejadiannya? Kejadian baptisan Roh Kudus dalam Kisah Para Rasul yang ditandai bahasa roh, sudah dapat dijadikan bukti otentik, dari tuduhan tidak adanya dukungan alkitabiah terhadap bahasa roh, sebagai tanda baptisan Roh Kudus dewasa ini.

Pemeteraian Roh Kudus berfungsi sebagai tanda legalitas seseorang menjadi Anak Allah, agar dapat dipersatukan dalam kesatuan Tubuh Kristus. Sedangkan baptisan Roh Kudus bermanfaat menguatkan iman yang bersangkutan, untuk melaksanakan tanggung jawab pelayanan pembangunan tubuh Kristus. Melalui baptisan Roh Kudus, setiap orang percaya dibawa agar memiliki pengalaman pribadi dengan Roh Kudus, sehingga olehnya akan meningkatkan kepekaan terhadap suara dan kehendak Allah. Meskipun demikian, peristiwa baptisan Roh Kudus, tidaklah otomatis menjadikannya manusia sempurna. Realitas baptisan Roh Kudus tidak dapat ditiadakan, hanya karena ada orang yang mengajarkan atau mengakui sudah dibaptis Roh Kudus, ternyata dikemudian hari didapati hidupnya tidak benar. Petrus ditempatkan sebagai tokoh utama di antara para rasul, masih juga ditegur dengan keras oleh Rasul Paulus karena kemunafikannya (Galatia 2:11-14). Tetapi dengan begitu bukan berarti Paulus menuduh Petrus bukan sebagai hamba Tuhan, yang kerasulannya perlu disangsikan, serta menolak baptisan Roh Kudus yang dialami Petrus. 

Menghakimi orang lain dengan menuduhnya sebagai hamba hantu, bukan hamba Tuhan atau istilah yang kasar lainnya adalah lebih mudah, daripada mempercayai Roh Kudus memiliki kemampuan mengubah seseorang. Memang sangat disayangkan jika ada seorang pendeta yang hanya bertemu dengan orang-orang yang mengaku dibaptis Roh Kudus, tetapi memiliki reputasi yang buruk. Seperti Jim Baker, Jimmy Swagart, Oral Roberts, John White, John Wimber disebutkan berulang kali dalam bukunya “Baptisan & Karunia Roh Kudus” (Stephen Tong, 1996), padahal ada begitu banyak hamba Tuhan yang mengalami baptisan Roh Kudus, memiliki hidup benar dalam kekudusan dan dipakai Tuhan secara luar biasa. Pendeta tersebut juga dalam bukunya mengulang-ulang menulis tidak kurang untuk nama Benny Hin 11 kali, Kenneth Hagin 8 kali, Cho Yonggi 4 kali (Stephen Tong, 1996), dalam rangka membangun opini bahwa doktrin Pantekosta atau Kharismatik tidak benar, karena penilaiannya terhadap hamba-hamba Tuhan tersebut buruk. Sementara itu tokoh-tokoh yang dinilai buruk tersebut, tampil sebagai pribadi, dan Pantekosta maupun Kharismatik tidak merasa diwakili oleh mereka. 

Seandainya Lukas memiliki pemahaman bahwa baptisan Roh Kudus diterima bersamaan seseorang menerima Yesus, maka ayat 5 dalam pasal 19 Kisah Para Rasul, tidak perlu dilanjutkan dengan ayat 6. Dengan jelas Lukas membedakan peristiwa baptisan air dengan baptisan Roh Kudus, melalui penumpangan tangan, dimana ayat 5 dan 6 mempergunakan kata sambung “dan” (Yunaninya: Kai). Selanjutnya persoalan pemakaian istilah “Setelah” atau “Ketika”, didalam pertanyaan Paulus kepada kedua belas murid di Efesus tetaplah tidak relefan, jika baptisan Roh Kudus diyakini diterima bersamaan lahir baru. Pertanyaan itu sendiri sudah membuktikan tentang lahir baru yang dialami seseorang, tidak otomatis menerima baptisan Roh Kudus. Dan jika baptisan Roh Kudus diterima dengan iman, seperti halnya menerima korban Yesus Kristus, bagaimana memberikan jawaban yang dapat meyakinkan Paulus atas pertanyaan yang ia lontarkan tersebut? Terbukti saat Paulus mendengar jawaban “belum” dari mereka, Paulus tidak menegaskan “Anda harus percaya bahwa sudah dibaptis Roh Kudus, bersamaan pada waktu anda percaya Yesus”. 

Penggunaan bentuk aorist untuk “menerima Roh Kudus” dalam pertanyaan Paulus tersebut, dimaksudkan menunjuk peristiwa baptisan Roh Kudus, yang mungkin saja pernah mereka alami, dan hal itu hanya sekali serta tidak perlu terulang kembali. Penggunaan bentuk yang sama untuk “ketika kamu menjadi percaya”, hendak menyatakan bahwa Paulus tidak menyangsikan keputusan yang pernah mereka ambil untuk percaya Yesus Kristus (lampau selesai). Dalam hal ini, Paulus sama sekali tidak berbicara tentang baptisan Roh Kudus, dengan pemahaman sudah terjadi saat Pentakosta, yang tidak akan pernah lagi terulang, dan harus diimani terjadi sekali dan selesai. Melainkan baptisan Roh Kudus dapat diterima oleh siapapun, meskipun jauh setelah peristiwa Pentakosta terjadi seperti yang ia pernah alami sendiri.

Pendapat yang menolak Kisah Para Rasul dijadikan norma baptisan Roh Kudus (Caprili Guanga, 1995), selain menjadikan kitab tersebut hanya sebagai sejarah gereja purba, juga menuduh Petrus dan Paulus melakukan pelayanan tanpa didasarkan pada doktrin yang benar. Pada saat Petrus berkhotbah bertitiktolak dari pengalaman Pentakosta, serta memerintahkan supaya orang bertobat, dibaptis lalu menerima karunia Roh Kudus. Dan pertanyaan Paulus “Sudahkah kamu menerima Roh Kudus ketika kamu menjadi percaya?” dapatkah dikatakan apakah yang mereka berdua lakukan tanpa didasari doktrin (Kisah Para Rasul 2:14-38; 19:1,2) ? Jika kewibawaan rasuli dan pengurapan Roh Kudus ada pada kedua Rasul tersebut, bukankah mereka pantas untuk dipercayai dan diteladani apa yang dilakukannya. 

Tuntutan agar baptisan Roh Kudus ditandai kejadian yang sama, seperti yang dialami Petrus beserta rasul-rasul pada saat Pentakosta. Tidak saja ditandai bahasa roh, melainkan juga dengan lidah-lidah seperti api dan tiupan angin, menunjukkan betapa emosionalnya menyikapi baptisan Roh Kudus yang terjadi dewasa ini. Padahal seperti sudah dikatakan di atas, Petrus menyatakan tentang peristiwa baptisan Roh Kudus yang terjadi di keluarga Kornelius sama dengan peristiwa Pentakosta (Kisah Para Rasul 11:15). Meskipun saat baptisan Roh Kudus terjadi, tidak disertai dengan lidah-lidah seperti api, maupun tiupan angin seperti peristiwa di loteng Yerusalem. Caprili Guanga dalam penolakkannya terhadap Kisah Para Rasul dijadikan norma baptisan Roh Kudus, ia menyitir pendapat J. R. W. Stott, yang menyatakan penumpangan tangan dalam baptisan Roh Kudus tidak perlu terjadi saat ini, disebabkan sudah tidak ada lagi orang-orang Samaria maupun murid-murid Efesus (Caprili Guanga, 1995). Jika berpikir yang demikian konsisten diterima, seharusnya Alkitab disikapi hanya sebagai buku sejarah dan bukan firman Allah. Atau keyakinan terhadap Alkitab adalah firman Allah, sangat ditentukan oleh cara pandang dan bagaimana setiap orang menyikapi suatu teks. Sehingga Alkitab menjadi firman Allah atau tidak, terpergantung dari hasil penafsiran. Akibatnya yang terjadi, begitu mudahnya menuduh baptisan Roh Kudus yang dialami seseorang, yang ditandai bahasa roh adalah tidak alkitabiah.

Terminologi baptisan yang dihubungkan dengan Roh Kudus, dipakai pertama kali oleh Yohanes Pembaptis, yang menyatakan bahwa selain baptisan air, ada juga baptisan Roh Kudus dan api (Matius 3:11; Markus 1:8; Lukas 3:16). Adanya baptisan Roh Kudus dipertegas oleh Tuhan Yesus sebelum naik ke sorga sebagai wasiat, bahwa murid-murid-Nya diperintahkan untuk menunggu baptisan Roh Kudus (Kisah Para Rasul 1:5). Lebih jauh Kisah Para Rasul 2 mencatat tentang baptisan Roh Kudus, sebagai bukti yang dikatakan Yohanes Pembaptis dan Tuhan Yesus telah digenapi.

Didalam Matius 3:11; Markus 1:8, dan Lukas 3:16 istilah baptisan mempergunakan istilah Yunani “baptisei”, dan dalam Kisah Para Rasul 1:5; 11:16 mempergunakan “baptisthesesthe” dari akar kata “baptizo” yang artinya “selam”, “celup” atau “ditenggelamkan”. Maksud penggunaan istilah tersebut, adalah hendak menunjukkan adanya perbedaan dengan istilah dimeteraikan, yang ditandai dengan “di cap”. Menjadi Kristen tidak hanya ditandai lahir baru dengan menerima Yesus Kristus menjadi Tuhan, melainkan ada tanggung jawab untuk berproses menjadi dewasa dalam iman. Karena itu, pengalaman iman Kristen seharusnya tidak merasa cukup puas sampai kepada baptisan air, dan dimeteraikan Roh Kudus, dibutuhkan tahapan berikutnya, yaitu baptisan Roh Kudus. Roh Kudus melaksanakan tugas daya cipta baru, yang mengubahkan seseorang dengan memimpinnya untuk menerima hidup kekal dan sifat Allah. Tetapi Roh Kudus melangkah setapak lebih jauh, dari regenerasi atau kelahiran baru, dan langkah itu ialah baptisan Roh Kudus (Paul Yonggi Cho, 2000).

Penolakan terhadap baptisan Roh Kudus bagi setiap orang Kristen sebagai pengalaman historis dalam Kisah Para Rasul, karena didasarkan alasan dalam surat-suratnya Paulus tidak pernah menasehati agar orang-orang Kristen dibaptis dalam Roh Kudus (Donald Guthrie, 2000). Alasan tersebut tidak dapat dijadikan dasar, sebab jika suatu permasalahan atau kewajiban sudah menjadi pengetahuan umum, atau dilakukan secara luas tidak perlu disuratkan lagi. Sebagai contoh cara penulisan yang demikian, dilakukan Paulus kepada jemaat Tesalonika (1 Tesalonika 4:9). Baptisan Roh Kudus tidak diperintahkan sebagaimana seseorang harus penuh Roh Kudus, karena baptisan Roh Kudus merupakan janji Bapa, mengenai seseorang tidak saja menerima baptisan air, namun juga baptisan Roh Kudus (Kisah Para Rasul 1:4,5). Baptisan Roh Kudus merupakan peristiwa yang dinantikan berdasarkan keyakinan terhadap janji Bapa. Mencermati peristiwa Kisah Para Rasul 2, Pentakosta tidak ditunjang oleh upaya para Rasul meminta Roh Kudus supaya membaptis mereka. 

Peristiwa di Samaria (Kisah Para Rasul 8) dan penumpangan tangan untuk Saulus, nampaknya dilakukan dalam suasana percakapan yang datar-datar saja. Apalagi baptisan Roh Kudus yang diterima Kornelius (Kisah Para Rasul 10), tidak terjadi dalam suatu Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) yang gegap-gempita. Bahkan Petrus sama sekali tidak membayangkan hal itu akan terjadi, karena pemahaman teologia Petrus, bahwa orang diluar Yahudi tidak mungkin menerima baptisan Roh Kudus. Untuk menerima janji tersebut, setiap orang diberikan kebebasan menolak atau menerima penggenapannya. Baptisan Roh Kudus diberikan agar setiap orang memiliki pengalaman pribadi dengan Allah, dan semakin efektif dipakai Tuhan. Pengalaman yang dimaksud akan menjadi daya dorong meningkatkan pertumbuhan imannya. Penolakkan diungkapkan juga secara sinis, dengan menyatakan semua orang dalam peristiwa di Kisah Para Rasul 2, 8 maupun 10 menerima Roh Kudus tidak ada yang terkecuali, tidak seperti sekarang ini (Stephen Tong, 1996). Pendapat semacam itu tidak dapat dijadikan dasar untuk membantah adanya baptisan Roh Kudus yang telah terjadi dalam gereja Tuhan. Sebab ukurannya bukanlah sedikit atau banyak, maupun semua atau tidak, Roh Kudus sebagai pribadi bekerja menurut kepentingan-Nya.

I Korintus 12:13 dijadikan dasar baptisan Roh Kudus diterima bersamaan saat kelahiran baru, alasannya didalamnya Paulus menyatakan dalam satu Roh semua telah dibaptis menjadi satu tubuh. Padahal ayat tersebut tidak membicarakan baptisan Roh Kudus, melainkan tentang penyatuan dalam tubuh Kristus, hanya dapat dilakukan oleh Roh Kudus. Suatu sikap yang tidak jujur jika memberikan kesimpulan, baptisan Roh Kudus tidak akan terulang kembali, hanya berangkat dari tensa yang dipergunakan Paulus dalam 1 Korintus 12:13 yaitu bentuk past participle tense (Stephen Tong, 1996). Padahal tensa tersebut tidak dipakai untuk baptisan Roh Kudus, melainkan penyatuan kedalam tubuh Kristus yang dikerjakan oleh Roh Kudus. Maksudnya begitu orang percaya kepada Yesus Kristus, ia telah dipersatukan dengan orang Kristen lainnya dengan meterai yang sama yaitu Roh Kudus. Ayat tersebut harus dilihat dalam konteks karya Kristus, yang menyatukan semua karunia adalah penting dalam kesatuan tubuh Kristus. Dalam hal ini Paulus memberikan penegasan dan penataan, sehubungan munculnya berbagai macam karunia di gereja Korintus. Sebagai perbandingan perlu diperhatikan tensa yang dipakai dalam Kisah Para Rasul 2:3,4 (Nathan E. Han, t.t.) sebagai berikut:
Ayat 2 egeneto (there was) 3p. sing. 2 aor. mid. ind.
pseromenes (rushing) pres. mid. ptc.
eplerosen (it filled) 3p. sing. 1 aor. act. ind.
kathemenoi (sitting) pres. mid. ptc. 
3 ofthesan (appeared) 3p pl. 1 aor. pass. ind
diamerizomenai (tongues-being divided) pres. pass. ptc. 
ekathisen (it sat) 3p. sing. 1 aor. act. ind.
Perhatikan kedua ayat di atas, bentuk ptc (baca: participle) hanya diperuntukkan pada manifestasi kehadiran Roh Kudus yang berbentuk “angin”, “mereka duduk” dan “lidah-lidah api”. Sangat beralasan jika Petrus tidak mempersoalkan baptisan Roh Kudus yang dialami Kornelius, meskipun tanpa disertai tiupan angin dan lidah-lidah api. 

Sekali lagi perlu ditegaskan, bahwa Paulus tidak mempergunakan tensa tersebut untuk membicarakan tentang baptisan Roh Kudus. Jika Paulus memiliki pemahaman baptisan Roh Kudus diterima bersamaan kelahiran baru, maka hal ini akan bertentangan dengan sikapnya dalam peristiwa yang dicatat di Kisah Para Rasul 19:1-6. Paulus membedakan “saat menjadi percaya” dengan “menerima Roh Kudus”, sehingga Paulus merasa perlu menumpangkan tangan, agar kedua belas murid di Efesus dibaptis Roh Kudus setelah dilakukan baptisan air. Mengetahui latar belakang mengapa Paulus mengajukan pertanyaan itu lebih penting, daripada meragukan kesungguhan kekristenan dari kedua belas murid di Efesus. Rupanya Paulus memiliki pendapat yang sama dengan pernyataan Petrus (Kisah Para Rasul 2:38), tentang menerima karunia Roh Kudus, seseorang harus terlebih dahulu dibaptiskan dalam nama Yesus Kristus. 

Pentingnya mengetahui apakah baptisan air merupakan pengalaman yang berbeda dengan peristiwa baptisan Roh Kudus, perlu dilihat kata kerja yang dipergunakan dalam Kisah Para Rasul 1:5 dan 2:38, “Sebab Yohanes membaptis dengan air, tetapi tidak lama lagi kamu akan dibaptis dengan Roh Kudus”, Jawab Petrus kepada mereka: “Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing memberi dirimu dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu, maka kamu akan memperoleh karunia Roh Kudus”. Dalam ayat di atas “membaptis” dan “dibaptis” mempergunakan kata Yunani “ebaptisen” dan “baptistheto” dengan tensa “aorist” untuk mengungkapkan suatu tindakan telah lampau dan selesai. Sedangkan “dibaptis” dengan Roh Kudus dan “memperoleh” karunia Roh Kudus tensa yang dipergunakan “future”, menyatakan secara gramatikal suatu proyeksi, atau pengharapan dimana tingkat kepastiannya lebih besar, jika dibandingkan modus-modus non-indikatif (Yopy Margianto, 2005). Melihat tensa yang dipergunakan untuk baptisan air dan baptisan Roh Kudus, serta menerima karunia Roh Kudus tersebut di atas, dapat diketahui bahwa baptisan air merupakan peristiwa yang berbeda dengan baptisan Roh Kudus. Baptisan Roh Kudus dapat didefinisikan sebagai berikut: “Dimana seseorang setelah lahir baru, mengalami suatu peristiwa Ilahi, karena pekerjaan Roh Kudus, yang ditandai dengan munculnya mujizat bahasa, berupa bahasa roh atau bahasa asing yang sebelumnya belum pernah dipelajari” (Kisah Para Rasul 2:4; 8:18; 10:44-46; 19:6; 9:17 band. 1 Korintus. 14:18; 10). 

Urutan yang dibuat Petrus sangat jelas, karunia Roh Kudus diterima setelah seseorang dibaptis dalam nama Yesus, hal itu yang mendasari kunjungan ke Samaria menemui orang-orang yang telah dibaptis (Kisah Para Rasul 8:14). Maka dari itu, kejadian di rumah Kornelius mencengangkan Petrus, tidak saja karena orang kafir dapat menerima keselamatan, melainkan karunia Roh Kudus diterima sebelum mereka dibaptiskan (Kisah Para Rasul 10:45). Dalam peristiwa di rumah Kornelius, orang yang menerima khotbah Petrus saat itu langsung dilahirkan baru, dan dilanjutkan dengan baptisan Roh Kudus. Barulah kemudian dilaksanakan baptisan air, sebagai bukti kepercayaan dan ketaatan mereka. Kalau bertumpu pada kebenaran Roma 10:17, bahwa iman datang dari mendengar firman Allah, dapat dipastikan saat Petrus menyampaikan berita Injil, iman bertumbuh dalam hati Kornelius. Kepercayaannya itulah yang menjadi dasar Roh Kudus memeteraikannya menjadi anak Allah, sehingga selanjutnya baptisan Roh Kudus dapat mereka alami.

Perbedaan meterai Roh Kudus dan baptisan Roh Kudus terletak pada kepemilikan dan hubungan pribadi dengan Sang Pemilik. Meterai Roh Kudus diterima dengan iman bersamaan kelahiran baru, yang melaluinya ia diyakinkan atas statusnya yang baru sebagai anak Allah. Sedangkan baptisan Roh Kudus, merupakan pengalaman pribadi yang dikerjakan oleh Roh Kudus, agar melaluinya ia merasakan kehadiran Allah secara pribadi untuk membangun imannya. Pemeteraian Roh Kudus tidak pernah dipertanyakan oleh para rasul “Sudahkah kamu di meteraikan oleh Roh Kudus ketika kamu menjadi percaya?”. Sebab pemeteraian dalam Roh Kudus, langsung diterima pada saat seseorang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan menjadi Juruselamat. Pemeteraian Roh Kudus tidak memerlukan tanda, karena diterima dengan iman, hanya saja harus ditindak lanjuti dengan baptisan air didalam nama Tuhan Yesus Kristus. Sangat beralasan jika Paulus mempertanyakan baptisan murid-murid di Efesus, dilakukan atas dasar apa setelah mereka lahir baru (Kisah Para Rasul 19:1-6). 

Lain halnya dengan baptisan Roh Kudus perlu dipertanyakan, sehubungan baptisan Roh Kudus dapat dirasakan dalam suatu pengalaman dengan tanda tertentu sebagai pembuktiannya. Tidak ada satu ayat pun yang menegaskan bahwa baptisan Roh Kudus, diterima dengan iman serentak pada saat orang lahir baru. Karena ada yang menghubungkan baptisan Roh Kudus diterima dengan cara seperti seseorang menerima korban Kristus (Stephen Tong, 1996). Jikalau pendapat tersebut benar, tentu tidak perlu ada pertanyaan apakah seseorang sudah dibaptis Roh Kudus apa belum ketika percaya kepada Yesus Kristus. Dan cukup saja dikatakan “Percayalah Anda sudah dibaptis Roh Kudus bersamaan peristiwa Pentakosta yang dialami para rasul, seperti Anda telah menerima pengorbanan Yesus yang telah disalibkan ribuan tahun yang lalu”. Memang sangat disayangkan, pemahaman tersebut tanpa didukung satu ayatpun, yang menyatakan baptisan Roh Kudus diterima orang Kristen sepanjang jaman, bersamaan dengan peristiwa Pentakosta yang dialami para Rasul. Tetapi mengabaikan bukti-bukti dalam Alkitab, dimana seseorang yang telah lahir baru dalam pertumbuhan iman, selanjutnya perlu menerima baptisan Roh Kudus. 

3. Kepenuhan Roh Kudus
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sama-sama mencatat dua peristiwa kepenuhan Roh. Dalam Perjanjian Lama Saul dan suruhannya kepenuhan Roh, akibat secara tidak sengaja ditransfer sekumpulan nabi yang sementara kepenuhan Roh (1 Samuel 10:10; 19:20). Dalam kasus tersebut tidak diceritakan lebih jauh, dampak selanjutnya bagi orang yang mengalami kepenuhan Roh. Kemungkinan besar kisah tersebut hendak mengajarkan, betapa kuat pengaruh urapan dari para nabi yang dipenuhi Roh. Perjanjian Baru menyatakan Petrus penuh Roh Kudus (Kisah Para Rasul 4:9), dan Rasul-rasul beserta jemaat sementara berdoa dipenuhi Roh Kudus (Kisah Para Rasul 4:31). Pengalaman baptisan Roh Kudus, menjadikan seseorang memiliki potensi lebih besar untuk dipenuhi Roh Kudus, agar memiliki kualitas hidup Kristen yang benar. Rasul Paulus sengaja menghubungkan larangan mabuk anggur, dan perintah untuk kepenuhan Roh Kudus. Rupanya pada waktu itu, kecenderungan orang untuk berusaha melupakan permasalahan yang dihadapi dengan mabuk. Meskipun harus diakui tidak sedikit orang Kristen dewasa ini, bergaul akrab dengan minuman yang beralkohol seperti “cap tikus”, “topi miring”, “tuak” dst. Bahkan konon ada pengkhotbah yang tidak dapat melaksanakan tugasnya, manakala tidak menegak minuman beralkohol terlebih dahulu. Mabuk berdampak negatif, sedangkan dipenuhi Roh Kudus berdampak positif, tidak saja untuk diri sendiri melainkan juga untuk orang lain. Dengan demikian nasehat tersebut, merupakan penangkal positif agar tidak mabuk anggur (Donald Gutrie, 2000). Sekaligus mengingatkan “adalah lebih baik terikat pada Roh Kudus, daripada terikat dengan minuman yang memabukkan”. 

Rasul Paulus menganggap kepenuhan Roh Kudus, atau dipenuhi Roh Kudus merupakan hal yang teramat penting, sehingga ia memerintahkan jemaat supaya dipenuhi Roh Kudus (Efesus 5:18). Penjelasan dipenuhi dengan Roh Kudus, Paulus mempergunakan istilah “plerousthe” dari kata “pleroo”, gagasan dari kata tersebut adalah “kontrol”. Manakala dihubungkan dengan Roh Kudus, artinya Roh Kudus selalu ada dalam hati sebagai satu-satunya pribadi, yang secara terus menerus mengontrol dan menguasai hidup orang percaya (Fritz Rienecker, 1976). Itu berarti kepenuhan Roh Kudus, dimana seseorang secara terus menerus rela dikontrol serta dikuasai Roh Kudus dalam seluruh aspek kehidupan. Baptisan Roh Kudus hanya terjadi sekali dan tidak terulang kembali, sedangkan kepenuhan Roh Kudus diterima secara terus menerus, terpergantung ketaatan dan kerelaan seseorang untuk dikuasai Roh Kudus. Kepenuhan Roh Kudus ada upaya dari pihak manusianya, karena itulah rasul Paulus memberikan dalam bentuk perintah agar dipenuhi Roh Kudus. Dengan begitu ia tidak mendukakan Roh Kudus, sehingga dihasilkan kehidupan Kristen yang berkualitas. Penjelasan Paulus dalam hal ini juga mempergunakan “dipimpin oleh Roh”, dimana dengan begitu akan menghasilkan buah Roh bagi seseorang yang dipimpin Roh (Galatia 5:1-26). Buah Roh tidak dihasilkan dari meterai Roh maupun baptis Roh, melainkan melalui kepenuhan atau dipimpin oleh Roh Kudus.

Lukas dalam tulisannya di Kisah Para Rasul menyebutkan mengenai Petrus yang tidak terpelajar tetapi kepenuhan Roh Kudus, dengan berani menjadi saksi di hadapan para pemimpin agama Yahudi. Demikian pula para Rasul dan murid-murid akibat kepenuhan Roh Kudus, memberitakan firman Allah tanpa rasa takut, meskipun dalam situasi yang tidak menguntungkan (Kisah Para Rasul 4:1-22). Membuktikan kepenuhan Roh bersentuhan langsung dengan produktifitas iman Kristen (Yohanes 15:1-7), dan hal itu sebagai manifestasi dari kuasa Allah yang bekerja didalam orang yang dikuasai Roh Kudus (Kisah Para Rasul 1:8). Maka “dipenuhi” Roh Kudus berarti orang Kristen dipengaruhi Roh dengan cara dan menurut taraf sedemikian rupa, sehingga Ia menjadi kuasa yang dominan dalam kehidupan. Roh Kudus membuat orang percaya hidup dan berlaku, kadang kadang dengan cara yang khususnya menunjukkan kehadiranNya, dan umumnya sedemikian rupa sehingga Allah dimuliakan di dalam dia (Efesus 5:19,20) (Bruce Mile, 273).

Ketiga langkah karya Roh Kudus didalam kehidupan orang percaya, masing-masing memiliki fungsinya. Pemeteraian RohKudus diterima seseorang yang percaya pada Yesus, sebagai tanda milik Allah yang memungkinkannya menjadi anak Allah. Baptis Roh merupakan peristiwa supaya orang percaya memiliki pengalaman dengan Allah, dan yang menjadikannya semakin efektif dipakai Tuhan. Sedangkan kepenuhan Roh, dimana orang percaya secara totalitas rela dipimpin Roh Kudus, sehingga dapat menghasilkan buah Roh. Iman Kristen tidak hanya berhenti pada pemeteraian oleh Roh Kudus dan menerima keselamatan, namun memiliki tanggung jawab untuk melangkah sampai pada tahapan baptis Roh dan dipenuhi oleh Roh Kudus.

4 komentar:

Ano mengatakan...

kuereen....! Trimakasih banyak! Tuhan memberkati!

smile cornelius mengatakan...

amen...terimakasih

smile cornelius mengatakan...

Amen terimakasih

Anonim mengatakan...

Ameen.... Sangat jelas