Asal-Usul Nama Yahweh
Orang Kristen hendaknya tidak perlu memberikan tuduhan sesat terhadap orang yang memanggil atau mempergunakan nama Yahweh dengan sembarangan. Mungkin yang berhak memberikan tuduhan demikian hanyalah orang Ibrani. Pada awalnya orang Ibrani menerima nama Yahweh melalui Musa, tetapi dikemudian hari mereka tidak berani menyebutkan secara langsung dan menggantikan dengan Adonai (yang diartikan “Tuhan” atau “Tuan”) atau Sy’ma (yang diterjemahkan “Nama itu”). Setiap kali orang Ibrani menemukan YHWH penyebutan nama Tuhan tanpa vokal dalam kitab suci Perjanjian Lama, ia akan merujuk pada “catatan kaki” yang menjelaskan agar dibaca "Adonai" atau "Sy’ma". Dikemudian hari penempatan vokal yang diambilkan dari Adonai dan ditempatkan pada YHWH, didapatkan kata Yahweh. Ada yang membacanya menjadi Yehowah atau Yehova seperti sekte saksi Yehova. Bagi orang Ibrani selaku pewaris mula-mula nama Yahweh nama tersebut disucikan dan sakral, sehingga tidak boleh diucapkan secara langsung. Harold Henry Rowley dengan gelar doktor dalam Perjanjian Lama dan diangkat menjadi profesor bahasa dan sastra Ibrani di Universitas Manchester Inggris membuktikan bahwa Yahweh adalah nama dewa suku Keni yang hidup jauh sebelum jaman Musa. Lebih lanjut Rowley mengatakan, itu tidak berarti bahwa Musa begitu saja menyodorkan agama suku Keni kepada bangsanya. Karena Yahweh menjadi Tuhan orang Israel bukanlah nama Yahweh yang diajarkan Musa, melainkan Yahweh telah memerdekakan dari kekuasaan Mesir. Itu berarti makna Yahweh yang dikenal orang Israel menjadi lain sekali dengan Yahweh bagi suku Keni (Ibadat Israel kuno, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1981). Dalam suatu peristiwa Tuhan murka kepada bangsa Israel, sekalipun mereka menyebut Tuhan dengan Yahweh tetapi mencoba memvisualisasikan dengan patung seekor sapi. Tuhan tidak tertarik dengan sebutan Yahweh bangsa Israel, sebab mereka menyembah “hasil pikiran” mereka sendiri.
Sedangkan penggunaan “El” untuk Tuhan oleh bangsa Israel merupakan kata padanan yang mempunyai bentuk yang sama asalnya dalam bahasa-bahasa Semitis lainnya. El berarti suatu allah atau dewa dalam pengertian yang paling luas. Karena sifatnya yang umum, maka El sering dihubungkan dengan kata sifat (ejektif) dan sebutan (predikat) tertentu. Selain daripada itu perlu disimak dalam naskah Ras Syamra, bahwa El adalah kata benda nama diri, nama dari “Allah Akbar” orang Kanaan yang anaknya adalah Ba’al. Sedangkan bentuk jamak dari El ialah “Elohim”, dan bila dipakai sebagai jamak diterjemahkan dewa-dewa (Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 1, A-L, Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, Jakarta, 1992). Sehingga Bapa leluhur orang Ibrani menggabungkan El dengan kata sifat sesuai pengalaman yang mereka temui bersama Tuhan, menjadi "Elsyadai", "El Elyon", dan "Eloah", dst. Pada era gereja dewasa ini cara tersebut digunakan dengan menyebut Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus tanpa disertai pengingkaran kepada Yahweh. Pemakaian nama Allah tidak membingungkan baik untuk orang Kristen maupun untuk orang Islam seperti telah terbukti selama ini. Sebab keduanya sebagai agama pendatang di Indonesia yang masing-masing memiliki kitab suci yang dapat dijadikan pedoman, dan masing-masing memiliki latar belakang historis. Sedangkan kata Allah telah menjadi bahasa baku di Indonesia yang setiap warga negara dengan latar belakang agama apapun berhak mempergunakannya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1990). Kata Allah itu sendiri berasal dari dua kata “Al” dan “Ilah”, dimana Al merupakan sebuah kata sandang (cf. The dalam bahasa Inggris) dan Ilah artinya “Yang Kuat”. Secara etimologis dan semantis kata ini berasal dari bahasa-bahasa Semitis yang lebih tua, yang secara luas dipakai di Timur Tengah sejak abad ke-5 sebelum Masehi sampai munculnya Islam pada abad ke-7 Masehi. Akar kata ini yang terdapat dalam bahasa rumpun Semitis adalah dua konsonan “alif” dan “lam”. Sedangkan ucapan sesuai dengan phonetik masing-masing contohnya “el” dalam bahasa Ibrani dan “il” dalam bahasa Arab (Bambang Noorsena, Sekitar Nama Yahweh, Allah Dan Isa, Catatan Perbandingan dari aneka Terjemahan Alkitab Bahasa Melayu/Indonesia). Oleh karena itu dalam kehidupan praktis sehari-hari orang Islam akan menyebut sesembahannya dengan nama Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sedangkan orang Kristen menyebutnya Allah Bapa di sorga di dalam nama Tuhan Yesus Kristus.
Penggunaan Yahweh Selanjutnya
Cukup menarik memang, sekelompok kecil orang Kristen di Indonesia begitu giat mempertahankan nama Yahweh, sementara orang Yahudi sebagai pewaris langsung mengubah begitu saja nama Yahweh sesuai kebutuhan. Selain mempergunakan El seperti di atas, demi kepentingan misi dalam konteks budaya Yahweh diganti dengan εγω ειμι (baca: ego eimi). Septuaginta merupakan kitab yang disalin dari bahasa Ibrani ke bahasa Yunani oleh 70 (sebenarnya lebih) ahli kitab dan ahli bahasa bangsa Yahudi. Semua penggunaan kata Yahweh diterjemahkan atau diganti dengan “ego eimi” yang artinya “Aku ini”. Terjemahan ini dianggap tepat, sebab nama YHWH dalam bahasa Ibrani berbunyi “Ehyeh Esyer Ehyeh” yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sehari-hari “Aku adalah Aku ada” (Keluaran 3:14). Itu berarti nama Yahweh sebagai pernyataan Tuhan yang mengandung arti Tuhan yang ada, tetap ada dan berkarya. Dengan demikian dapat dimengerti jikalau Tuhan Yesus menyuruh orang mempercayai karya-Nya merupakan bukti keberadaan-Nya sebagai Mesias (Matius 11:2-6). Bahkan Yesus Kristus menegaskan kepada murid-murid-Nya sengan menunjuk diri-Nya sendiri sebagai “ego eimi”. Kesimpulan dari Doktor Arkhimandrit Daniel Bambang menurut iman Kristen Orthodox, bahwa nama Yahweh bagi orang Ibrani bukan merupakan nama Diri Sang Pencipta, namun lebih merupakan penyebutan Keberadaan dari Sang Pencipta itu sendiri.(Dr. Arkhimandrit Daniel Bambang, Allah Tritunggal, satya Widya Graha, Jakarta, 2001).
Usulan kepada orang Kristen supaya menggantikan istilah Allah dengan Yahweh dimaksudkan supaya ada perbedaan dengan agama Islam. Namun dilain pihak persoalannya jika usulan tersebut dilakukan akan menempatkan agama Kristen sama dengan agama Yahudi atau dengan sekte Saksi Yehova. Kelompok “Yahwehisme” menyatakan bahwa Tuhan akan mengalami kebingungan jika dipanggil bukan dengan nama-Nya. Jika Allah dapat mengalami kebingungan berarti pengingkaran terhadap sifat Allah Yang Mahatahu. Allah dalam menerima doa dan ibadah umat-Nya tidak saja melihat gerak bibir melainkan juga ke dalam hati.
Tuduhan Kelompok “Yahweisme”
Adanya peristiwa di Indonesia dimana beberapa gereja dihancurkan dan dibakar, dianggap oleh kelompok “Yahwehisme” sebagai hukuman dari Yahweh karena gereja-gereja tersebut mempergunakan nama Allah. Secara subyektif dapat saja peristiwa itu dikaitkan demikian, meskipun ada banyak gereja yang tidak mempergunakan nama Allah di luar Indonesia mengalami hal yang sama. Dilain pihak gereja-gereja yang mempergunakan nama Allah sementara mengalami pertumbuhan secara signifikan. Pertanyaan yang perlu diajukan kepada kelompok yang gigih memperjuangkan nama Yahweh adalah prestasi apa yang telah dikerjakan untuk kemajuan dan perkembangan gereja Tuhan. Kalau dikatakan bahwa Roh Kudus masih berkarya di gereja yang menyebut Tuhan dengan Allah dan Yahweh belum mendatangkan hukuman, karena Tuhan masih mentolerir tingkat pengertian yang belum memadai. Apa parameter yang dipergunakan untuk “menentukan waktu” dari tingkat pengertian yang belum memadai sampai kepada pengertian yang sudah memadai? Realitas yang terjadi sampai hari ini Roh Kudus tetap bekerja di gereja yang tidak memakai nama Yahweh dimana mujisat terjadi, jiwa-jiwa datang bertobat, dan berkat dilimpahkan, padahal telah belajar tentang arti dan penggunaan kata Yahweh. Apakah para pakar teologi dan guru besar dalam bidang Perjanjian Lama dan sastra Ibrani yang sudah melakukan riset bertahun-tahun dapat dinilai tingkat pengertiannya masih rendah oleh orang yang prestasi akademis teologianya tidak jelas?
Ada beberapa ayat dipergunakan kelompok “Yahwehisme” untuk menyudutkan orang Kristen yang tidak mempergunakan Yahweh. Matius 12:37 ditafsirkan bahwa menyebut nama Allah akan dihukum, padahal konteks ayat tersebut ditujukan kepada orang Farisi yang menyebut nama Yahweh tetapi belum tahu secara persis apa yang dilakukan Yesus, namun dengan mudahnya memberikan tuduhan. Tuduhan yang didasari iri hati dan kesombongan agamawi, lalu Yesus menyoal kata-kata yang dilontarkan karena keluar dari hati yang tidak benar dan pasti akan menerima hukuman. Maleakhi 2:1,2; Hosea 11:7 dan Ibrani 10:26,27 disodorkan sebagai ancaman jika tidak mengubah penyebutan Allah dengan Yahweh. Untuk mengerti Maleakhi 2:1,2 membacanya harus diselesaikan sampai ayat 9, ayat tersebut ditujukan kepada para imam yang tidak hidup sesuai dengan perjanjian Tuhan dan mulutnya tidak mengatakan kebenaran. Dapat dipastikan para imam tersebut masih menyebut nama Yahweh dan tidak menggantikan dengan nama apapun. Hosea 11:7 dapat dimengerti dengan benar jika membacanya dimulai dari ayat 1, dikatakan umat Israel berhenti meninggikan nama Yahweh karena telah memanggil serta menyembah Baal. Mereka telah mengingkari iman kepada Yahweh dan mempraktekkan hidup keagamaan Baal. Penghujatan terhadap nama Yahweh yang terdapat dalam Imamat 24:16 bertitik tolak dari ayat 11 dimana ada seorang perempuan Israel dalam kemarahannya ia menghujat dan mengutuk nama Yahweh. Jadi peristiwa tersebut tidak membicarakan masalah penggantian atau penyebutan Yahweh dengan nama yang lain. 1 Tawarikh 16:26 merupakan bagian dari nyanyian yang mengekspresikan iman yang monotheistik hanya mempercayai Yahweh sebagai penguasa. Menyebut Tuhan dengan Allah tidak berarti memiliki iman yang menyembah Tuhan lebih dari satu (Politheistik). Mengutip Zefanya 3:9 dengan menekankan “…supaya sekaliannya memanggil nama Yahweh, …” tidak boleh begitu saja meninggalkan pasal 1:1 yang memberikan informasi tentang situasi dan kondisi umat pada saat Zefanya menyampaikan firman Tuhan. Umat Tuhan pada waktu itu telah berubah setia dengan mengingkari perjanjian dengan Yahweh, mereka melakukan penyembahan kepada Baal dan Asyera, dewa matahari, dewa bulan, rasi-rasi bintang dan segenap tentara langit yang dilakukan di dalam bait Tuhan (2 Raja-raja 22, 23). Fakta historis dalam 2 Raja-Raja 22, 23 dituangkan kembali oleh Zefanya dalam pasal 1:4,5 dan ditambahkan dosa melalui mulut yaitu bersumpah demi dewa Milkon. Maka Tuhan berurusan dengan bibir orang-orang yang mengikat sumpah dengan para dewa, dan memperbarui mereka untuk percaya dan memanggil nama Yahweh. Sedangkan Ibrani 10:26, 27 tidak saja ditujukan kepada yang menyebut Tuhan dengan Allah, namun juga kepada yang mempergunakan Yahweh Sebab ayat itu secara eksklusif tidak ditujukan kepada dosa yang menyangkut penyebutan Tuhan khususnya yang tidak memanggil nama Yahweh. Seperti ibarat pepatah “Jauh panggang dari api” jika ayat-ayat tersebut di atas ditujukan kepada orang percaya yang memanggil Tuhan dengan Yahweh. Ayat Alkitab tidak dapat dipergunakan secara sewenang-wenang dengan mengambil ayat terlepas dari konteks hanya untuk mendukung asumsi atau suatu gagasan. Sejarah gereja membuktikan bidat dibangun dengan mengutip ayat lepas dari konteksnya, dan memanipulasi ayat untuk menimbulkan rasa takut serta memberikan harapan keduniawian kepada siapa saja yang akan dijadikan pengikut.
Hanya Nama Yesus Kristus Yang Menyelamatkan
Dalam proses perkembangan bahasa merupakan hal yang alamiah jikalau terjadi pertukaran atau mutasi (pengadopsian) satu kata dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Terjadinya mutasi akan sangat dimungkinkan apabila terjadi kontak sejarah, dan bahkan dalam kepentingan misi pekabaran Injil lintas budaya pengadopsian tidak dapat dihindarkan. Meskipun dapat saja terjadi kata yang diadopsi tetap bermakna seperti dalam bahasa asalnya, atau makna kata tersebut sudah berubah yang disesuaikan konteks pemakai. Seperti penggunaan kata Allah oleh Islam dan Kristen tidak perlu sampai mengubah sila pertama Pancasila menjadi “Ke Allahan yang maha Esa” seperti yang dikhawatirkan kelompok “Yahwehisme”. Sebab semua agama di Indonesia mengakui sifat ke EsaanNya, sedangkan pemakaian Tuhan dianggap sudah cukup mewakili.
Memanggil Tuhan dengan Allah dalam konteks iman Kristen itu berarti percaya Yesus Kristus Anak Tunggal Allah Bapa yang telah mati di salib untuk dosa seluruh umat manusia, dibangkitkan pada hari ketiga, naik ke sorga dan akan datang kembali mengangkat gereja-Nya. Oleh sebab itu di kolong langit ini tidak ada nama lain yang dapat menyelamatkan kecuali nama Yesus Kristus. Alkitab menegaskan bahwa tidak ada cara lain untuk masuk ke sorga, kecuali dengan percaya di dalam nama-Nya (Kisah Para Rasul 4:12; Yohanes 14:6). Tidak ada nama selain nama Yesus Kristus yang ditinggikan, dimana pada akhirnya semua lidah akan mengaku Yesus Kristus adalah Tuhan.
Kesimpulan
Nama Allah sudah dipakai dalam ritual keagamaan jauh sebelum agama Islam lahir, dan nama Yahweh yang diperkenalkan Musa kepada bangsa Israel bukan berasal dari Sorga. Nama Yahweh dan Allah tidak menyelamatkan, itu berarti penyebutan nama Yahweh ataupun Allah harus diucapkan dalam iman kepada Yesus Kristus. Kitab Torat dan kitab para nabi mengarah kepada puncak karya Allah, yaitu pemulihan hubungan manusia berdosa dengan Allah Bapa di Sorga melalui karya Yesus Kristus (Lukas 24:27, 44; Yohanes 5:39).. Karena itu sembah dan layanilah Tuhan dengan menyebut-Nya Yahweh atau Allah sejauh diucapkan dengan iman, rasa hormat dan penuh cinta didalam Tuhan Yesus Kristus. Oleh karena itu akan sangat bijaksana jika anak Tuhan tidak menghakimi saudara seiman yang lain, karena Tuhan adalah hakim satu-satunya. Dan tidak seorang pun yang telah diberi wewenang untuk menjadi hakim atas saudara-saudara seiman.
1 komentar:
Saya tidak keberatan mereka mengganti Allah dengan Yahwe, tetapi yang membuat saya merasa menolak adalah karena Pdt. Yajub Sulityo, mengatakan bahwa orang2 Kristen yangntidak mau mengganti panggilan Allah menjadi Yahwe adalah jika kita sudah diberi tahu oleh mereka dan tetap menolak memutuskan hubungan dengan Allah maka kita kan kehilangan keselamatannya.
Pdt. Yakub Sulistyo mengambil ayat dari kitab Ibrani 10:26
Sebab jika kita sengaja berbuat dosa, sesudah memperoleh pengetahuan tentang kebenaran, maka tidak ada lagi korban untuk menghapus dosa itu. Ia mengatakan bahwa bila kita sudah diberitahu dab masih menolak mengganti panggilan Allah maka dianggap dengan sengaja berbuat dosa setelah memperoleh pengtahuan tentang kebenaran, dan tidak ada lagi korban untuk penghapus dosa atau dengan kata lain kita kehilangan keselamatan kita.
Dan mereka harus mendeklarisikan memutuskan hubungan dengn Allah dan harus dibabtis ulang atas nama Yahwe.
Posting Komentar